Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (7 Shaffar 691 H – 13 Rajab 751 H)
mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa
kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar.
Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan ini :
Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah swt, dan
inilah mengharuskannya untuk bersyukur.
Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti
seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski
kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’.
Ketiga rukun tersebut adalah:
- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah swt
- Mengucapkannya dengan lisan.
- Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah swt, karena DIAlah yang memberikannya.
Atau, boleh jadi Allah swt mengujinya dengan berbagai ujian, dan
kewajiban hamba saat itu ialah bersabar.
Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal:
- Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah swt
- Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah swt
- Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ terhaapd keputusan Allah swt.
Perlu kita pahami bahwa Allah swt menguji hamba-NYA bukan karena
DIA ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan
kita terhadap-NYA. Kalaulah Allah swt mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu
hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi Allah swt) saat kita dalam kondisi
lapang; maka Allah swt juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam
kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama,
karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang
lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak
selaras dengan keinginan yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Allah swt berjanji
akan mencukupi hamba-hamba-NYA sebagaimana firman Allah swt : “Bukankah
Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-NYA?” (QS. Az Zumar: 36)
.
Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun
(beristighfar) kepada Allah SWT.
Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam
dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya,
hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di
kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu
dosa, yang karenanya ia masuk surga, dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang
karenanya ia masuk neraka”
Bagaimana kok begitu? Bila Allah swt menghendaki kebaikan atas
seseorang, Allah swt akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal
sebelumnya ia seorang yang shaleh dan gemar beramal shaleh). Dosa tersebut akan
selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan
membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia
karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah
swt, takut kepada-NYA, mengharap rahmat dan maghfirah-NYA, serta bertaubat
kepada-NYA.
Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub
(kagum) terhadap keshalehannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan
dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk surga Namun sebaliknya orang yang
melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shaleh’ seperti
itu.
Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah swt tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk
taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Wallahualam………
http://bundadontworry.wordpress.com/2012/07/28/syukur-sabar-dan-istighfar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar