Hadirin wal hadirat, jama’ah solat id
yang berbahagia….
Di pagi hari yang mulia, khidmat, dan
penuh barakah ini, mari bersam-sama kita perbanyak rasa syukur ke hadirat Allah
SWT, seraya terus meningkatkan kualitas ketaqwaan: bermujahadah dalam
melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjahui semua yang dilarangan-Nya. Pada
kesempatan ini juga, bersama-sama kita agungkan asma Allah, dengan memperbanyak
bertakbir, tahmid, tahlil dan tasbih, sebagi ungkapan rasa syukur dan suka
cita; menenggelamkan diri dalam suasana kemenangan, setelah sebulan lamanya
kita laksanakan ibadah puasa, sebagai manifestasi ketaqwaan. Mudah-mudahan kita
termasuk hamba-hamba yang dikaruniai kefitrahan, dan mampu meraih derajat
muttaqin pasca-tempaan selama Ramadan. Amin ya Rabbal alamin.
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Fitri,
Rahimakumullah..
Baru saja kita telah menunaikan shalat Id
secara berjamaah. Ini pertanda bahwa hari ini, dan beberapa hari ke depan,
suasana Hari Raya Idul Fitri akan kental terasa. Kunjungan bersilaturrahmi
antar sanak kerabat, handai taulan, juga kepada para sahabat berlangsung penuh
khidmat, penuh suka cita. Saling bermaaf-maafan sebagai inti silaturrahmi
berlebaran telah menjadi satu tradisi yang mengalir bagaikan air. Kiranya kita
patut membanggakan tradisi mulia ini. Setidaknya, ego diri, kesombongan pribadi
untuk mengakui kesalahan kepada sesama bisa tertutupi dengan tradisi ini.
Gampangnya, jika di luar suasana Idul Fitri kita masih merasa malu, canggung
untuk meminta maaf, maka pada suasan lebaran ini, luapan emosi keangkuhan diri
bisa sejenak direda.
Dalam kedinasan, contohnya, atasan tidak
lagi canggung mengakui kekhilafannya pada bawahan; para guru tidak perlu
sungkan meminta maaf kepada murid-muridnya; mereka yang lebih senior, lebih
tua, tidak usah malu bermaaf-maafan dengan mereka yang lebih junior, atau lebih
muda. Dalam keuarga juga demikian, orang tua dengan putra-putranya saling
meminta maaf. Dalam suasana lebaran, semuanya berkesempatan untuk tidak malu
meminta maaf atas kesalahan masing-masing. Alhamdulillah, sekali lagi
alhamdulillah kita punya tradisi mulia ini, meski sebenarnya, tradisi sepertii
ini tidak terbatas dalam suasana lebaran saja.
Satu lagi, wahai kaum muslimin sekalian,
tradisi saling memaafkan, tradisi pengakuan kesalahan kepada sesama ini
ternyata sekaligus menjadi pembeda antara Islam dengan agama yang mengharuskan
pengakuan kesalahan atau pengakuan dosa hanya kepada orang yang disucikan.
Islam tidak demikian, semua manusia sama; semua manusia pernah melakukan dosa;
tidak satu pun manusia kecuali baginda Nabi Muhammad al-maksum, yang terlepas
dari kekeliruan, juga dosa. Inilah hakekat tradisi Idul Fitri yang sangat
mulia.
Allahu Akbar .. Allahu Akbar .. Allahu Akbar Walillahilham
Dengan lebih memahami tradisi Idul Fitri
seperti di atas, lantas kita bisa melihat benang merah antara tradisi dan
hakekat makna Hari Raya Idul Fitri; ada keterikatan antara keduanya. Hari raya
Idul Fitri sebagai puncak pelaksanaan ibadah puasa memiliki makna yang
berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa Ramadan.
Secara etimologi (kebahasaan), Ungkapan
“Idul Fitri” sendiri, terdiri dari dua suku kata: ‘îd dan Fitri. kata ‘îd
terambil dari bahasa Arab yang berarti
kembali Jika tersambung dengan kata selanjutnya, yakni fitri, makna yang
artinya suci Maka, Idul Fitri berarti hari raya Kesucian atau hari raya Kemenangan—yakni
kemenangan mendapatkan kembali, mencapai kesucian, fitri. Kefitrahan, atau
kesucian diri inilah yang menjadi asal kejadian setiap manusia, tanpa kecuali.
Sebagaimana dimaklumi bersama, ibadah
puasa merupakan sarana penyucian diri, tentu saja apabila dijalankan dengan
penuh kesungguhan dan ketulusan serta menyadari tujuan puasa itu sendiri
Berkaitan dengan asal kejadian manusia,
Rasulullah bersabda : “Setiap anak yang lahir adalah dalam kesucian” . Penegasan yang berkenaan dengan kesucian bayi
juga dinyatakan dalam sebuah hadis lain yang mengatakan bahwa seorang bayi
apabila meninggal, maka ia dijamin akan masuk surga.
Lebih jelas lagi Al-Qur’an menjelaskan
bahwa Manusia diciptakan Allah dengan naluri beragama tauhid. Kalau ada manusia
tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, alias melenceng dari
fitrah. Hal itu terjadi karena faktor luar, atau lingkungan. Maka hendaklah
segera kembali dari lingkungan yang merusaknya, menuju kefitrahan dari Tuhan yang
telah menciptakan.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ
اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-rum: 30)
Kita semua tentu menyadari betapa banyak
pribadi, keluarga, masyarakat, jamaah hingga bangsa dan negara yang tidak baik,
amat jauh perjalanan hidupnya dari ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT,
bahkan bisa jadi kita termasuk orang yang demikian, semua itu berpangkal pada
hati. Karena itu, hati memiliki kedudukan yang sangat penting. Baik dan
buruknya seseorang sangat tergantung pada bagaimana keadaan hatinya, bila
hatinya baik, maka baiklah orang itu dan bila hatinya buruk, buruklah orang
itu. Rasulullah SAW bersabda:
أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْب
Ingatlah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik,
baiklah anggota tubuh dan apabila ia buruk, buruk pulalah tubuh manusia.
Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati (HR. Bukhari dan Muslim).
Macam- macam hati ada 3 yaitu :
Qolbun Qoosii ( Keras/Hati Celaka )
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ
لاَ يُؤْمِنُونَ
خَتَمَ
اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat. (QS Al-Baqarah : 6-7)
Qolbun Maaridh ( Hati Kotor )
Seperti halnya badan dan benda-benda, hati bisa mengalami kekotoran, namun
kotornya hati bukanlah dengan debu, hati menjadi kotor bila padanya ada
sifat-sifat yang menunjukkan kesukaannya kepada hal-hal yang bernilai dosa,
padahal dosa seharusnya dibenci. Oleh karena itu, bila dosa kita sukai apalagi
sampai kita lakukan, maka jalan terbaik adalah bertaubat sehingga ia menjadi
bersih kembali, Rasulullah SAW bersabda:
التاَّ ئِبُ مِنَ
الذَنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak menyandang dosa
(HR. Thabrani).
Hati yang bersih akan membuat seseorang menjadi sangat sensitif terhadap
dosa, karena dosa adalah kekotoran yang membuat manusia menjadi hina.
Qolbun Salim ( Hati Yang Selamat)
وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ
سَلِيمٍ
Dan janganlah engkau
hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak
laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih (QS Asy-Syu’araa :87-89)
Hadirin wal Hadirat yang Rahimakumullah
Kemudian, setelah Kewajiban puasa Ramadan
dijalankan dengan baik, Al-Quran lantas menganjurkan setiap orang yang beriman
untuk bertakbir atau mengagungkan asmâ’ Allah Swt. Dengan anjuran bertakbir tersebut, sepertinya
seorang muslim yang telah menjalankan ibadah puasa diasumsikan berada dalam
kemenangan atau kesucian, sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap
tidak berarti apa-apa. Allâhu Akbar 3x, Allah Maha Besar.
Allahu Akbar: tidak menilai orang besar
karena baju barunya!
Allahu Akbar: tidak melihat orang besar
karena hartanya!
Allahu Akbar: tidak menganggap orang
besar karena jabatan dan kedudukannya!
Allahu Akbar: tidak menilai segala
sesuatu selain Allah, besar!
Allahu Akbar, tidak pernah menganggap
diri sendiri, besar!
Senyatanya kita rendah di sisi Allah,
kita hina di hadapan Allah, karena banyaknya dosa, dosa, dan dosa yang kita
perbuat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
walillahilhamd
Itulah makna filosofi kalimat takbir:
menyatakan dengan sebenar-benarnya kebesaran Allah, tidak sekedar terucap
melalui lisan, tapi diyakini dengan hati yang paling dalam, dan dipraktekkan
dalam amalan sehari-hari. Keyakinan semacam ini tidak akan pernah terujud,
tanpa sebelumnya meyakini keberadaan Allah; meyakini haqqul yakin bahwa Allah
maha mengetahui tentang apa saja yang akan, sedang dan telah kita lakukan.
Itulah beberapa pelajaran inti dalam ibadah bulan Ramadan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang
bisa kembali pada fitrahan manusia, dan terlatih mengendalikan diri setelah
kepergian bulan Ramadhan tahun ini; tetap menempati kehormatan sebagai
sebaik-baik makhluk dan tidak akan merosot menjadi makhluk yang paling rendah
akibat tak kuasa menahan godaan yang selalu mengintai. Akhirnya, minal âidzîn
wal fâizîn, selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1433 Hijriyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar