PENGERTIAN
PROFESIONALISME
Ada cukup banyak definisi yang pernah
dikemukakan para pakar tentang profesionalisme. Definisi-definisi itu tentu
dirumuskan dengan penekanan-penekanan tertentu sesuai dengan tujuan dan sudut
pandang pakar yangmengajukannya. Karenanya, tidak jarang orang awam justru
dibuat bingung dengan banyaknya definisi tersebut (Cf. Richard de George, 1986:
337).
Sebenarnya secara denotatif saja orang
dapat menjelaskan makna profesionalisme dengan menunjuk jenis-jenis peekerjaan
tertentu seperti bidang kedokteran, arsitektur, konsultan dan lain sebagainya.
Namun cara pendekatan ini tidak akan begitu memuaskan, karena selain tidak bisa
mewakili semua jenis pekerjaan juga tidak mampu menangkap pelbagai nilai atau
aspek yang inherent pada istilah tersebut. Oleh karena itu, tanpa
menyepelekan konsepsi yang dapat dibuat secara sederhana, upaya untuk melacak
definisi yang dapat diandalkan sangat penting. Dalam hal ini kita perlu
membedakan terlebih dulu istilah profesi, profesional, dan profesionalisme.
Pada umumnya orang menggunakan istilah
profesionalisme untuk menunjukkan etos kerja yang profesional. Seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki profesionalisme tinggi dapat dinilai sebagai
jaminan bahwa orang atau kelompok orang tersebut memiliki dedikasi dan komitmen
yang tinggi atas pekerjaan dan komunitas yang terkait dengan pekerjaannya
tersebut.
Dengan pengertian tersebut,
profesionalisme dapat dipandang pula sebagai spirit atau bahkan sikap hidup
yang dimiliki individu dan/ atau kelompok yang menempatkan pekerjaan sebagai
hal yang perlu dijalankan dengan penuh tanggungjawab dan seoptimal mungkin.
Profesionalisme akan menentukan reputasi dan masa depan pekerjaan seseorang,
sebab dengan menjunjung tinggi sikap hidup ini maka rasa hormat dan kepercayaan
orang lain akan semakin meningkat, yang berarti juga akan meningkatkan nilai
diri dan imbalan (reward) dari hasil pekerjaannya.
PENTINGNYA
PROFESIONALISME DI LINGKUNGAN KERJA
Tuntutan profesionalisme di lingkungan
kerja sebenarnya sangat masuk akal dan dapat dipahami siapapun yang memiliki
motivasi berprestasi secara maksimal. Setidaknya ada dua alasan terkait yang
bisa dikemukakan di sini. Pertama, haruslah diakui bahwa tantangan yang
paling besar untuk berprestasi dewasa ini adalah arah arus yang lebih kuat dari
negara-negara maju ke negara-negara berkembang daripada sebaliknya. Masuknya
perusahaan-perusahaan multinasional seperti KFC, IBM, Sony, dan lain-lain,
merupakan bukti nyata dari kondisi tersebut. Belum lagi serbuan gelombang
informasi dan telekomunikasi dari negara-negara maju yang dari waktu ke waktu
semakin gencar mempengaruhi sikap dan pandangan hidup masyarakat dunia ketiga.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah munculnya pelbagai tata nilai, standar,
atau bahkan tuntutan (seperti pemberlakuan ISO 9000, ISO 14000) yang secara tak
terelakkan harus dipenuhi, terutama oleh masyarakat dunia ketiga.
Harus diakui pula bahwa nilai-nilai
profesionalisme lahir dan berkembang di dunia Barat yang telah lebih dahulu
maju di bidang ilmu dan teknologi. Itulah sebabnya, bagi masyarakat Barat (dan
negara- negara maju lainnya) profesionalisme tidak lagi dipandang sebagai hal
yang rumit atau beban berat, sebab hal itu telah menjadi bagian dari budaya
hampir setiap orang. Siapa saja yang pernah mengalami hidup di negara-negara maju
seperti USA, Canada, Jepang, atau negara-negara Eropa, akan dapat menyaksikan
bahwa nilai-nilai profesionalisme telah ditanamkan sejak usia kanak-kanak.
Itulah sebabnya, di negara-negara tersebut di samping sangat umum orang bekerja
secara profesional, penghargaan terhadap tenaga dan pekerjaan seseorang (baik
itu tenaga dan pekerjaan diri sendiri maupun orang lain) sangat tinggi.
Selain itu juga semakin umum diterima
masyarakat bahwa ukuran dari pekerjaan yang baik adalah tingginya kinerja yang
setinggi dengan gaji yang diperoleh. Orang Amerika yang melihat pekerjaan
sekadar sebagai transaksi ekonomi yang menyediakan sarana untuk bertahan hidup
semakin berkurang, dan sebaliknya mereka yang melihat kerja sebagai sarana
ekspresi diri (self-expression) dan pengembangan diri (self-development)
semakin meningkat.
Menyaksikan fenomena semacam itu,
sangatlah jelas bagi kita bahwa profesionalisme merupakan hal yang tak dapat
ditawar-tawar lagi oleh siapapun yang memasuki arena globalisasi.
Profesionalisme tidak saja merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam
persaingan global, tetapi juga merupakan salah satu norma kerja yang harus
eksis di setiap organisasi.
MENGEMBANGKAN
PROFESIONALISME DIRI
Meskipun setiap organisasi
berkepentingan untuk mengembangkan profesionalisme di lingkungannya, terutama
untuk lebih mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat luas, menjalankan
pekerjaan secara profesional sebenarnya merupakan tanggungjawab setiap individu
di dalam organisasi tersebut. Begitu seorang diterima sebagai pegawai secara
otomatis dia harus memiliki komitmen untuk menempatkan pekerjaannya sebagai
profesi yang harus dilakukan secara profesional.
Sonny Keraf & Robert Imam (1991)
menyebutkan tiga prinsip yang perlu mendapat perhatian manakala individu dalam
organisasi ingin mengembangkan profesionalisme diri, yakni:
1.
Tanggung-Jawab
Diri yang prifesional
sekurang-kurangnya bertanggungjawab pada dua hal: (a) baik pelaksanaan maupun
hasil pekerjaan, dan (b) dampak pekerjaannya pada masyarakat luas. Maksud dari
tanggungjawab yang pertama adalah bahwa kaum profesional harus bekerja sebaik-baiknya
sehingga hasilnya tidak saja memenuhi standar yang diharapkan tetapi juga bisa
lebih dari itu. Untuk dapat memenuhi tuntutan tanggungjawab ini kaum
profesional perlu memiliki kompetensi yang prima (yang terwujud melalui
keahlian dan ketrampilannya), kondisi yang prima (fisik, psikis,
ekonomis-keluarga, suasana & lingkungan kerja), serta mampu bekerja secara
efisien dan efektif.
Sedang maksud dari tanggungjawab kedua
adalah bahwa diri yang profesional dituntut untuk selalu mempertimbangkan
dampak pekerjaannya terhadap orang lain atau masyarakat luas. Dalam hal ini
minimal dia harus mencegah dampak yang akan merugikan pihak lain, dan maksimal
dia harus menghasilkan hal-hal yang berguna bagi orang banyak.
2.
Keadilan
Maksud dari keadilan adalah memberikan
kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa
siapapun yang ingin tampil secara profesional dituntut untuk menghormati
hak-hak pihak lain seperti dia menghormati hak-hak pribadi.
3.
Otonomi
Otonomi tak dapat diartikan sebagai
kebebasan tanpa batas. Orang yang memiliki otonomi akan terikat pada
tanggungjawab atas penerapan otonominya itu. Justru orang yang otonominya
dirampas yang akan melimpahkan tanggungjawab atas perbuatannya pada pihak lain.
Diri yang profesional adalah diri yang
otonom. Otonomi ini sangat penting bagi pelaksanaan kerja, khususnya untuk
membuat keputusan- keputusan atau pengembangan kinerja. Untuk melaksanakan
otonomi ini kaum profesional mendasarkan diri pada kode etik yang berlaku. Kode
etik adalah pegangan umum yang mengikat para profesional di bidang-bidang
tertentu agar dapat mewujudkan otonominya dengan penuh tanggung jawab . Dengan
adanya kode etik ini kaum profesional diharapkan dapat mengamalkan otonomi yang
dimilikinya bagi kepentingan masyarakat luas.
RESUME
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa profesionalisme merupakan tantangan yang harus direspon
secara positif. Di tengah maraknya persaingan yang kian ketat, setiap inidividu
ataupun organisasi tanpa kecuali dituntut untuk lebih profesional dalam
menjalankan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
Untuk mewujudkan ataupun mengembangkan
profesionalisme setiap organisasi dapat melakukan pendekatan struktural maupun
kultural. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang perlu
menggalakkan pengembangan profesionalisme sebenarnya tidaklah organisasi secara
sepihak, tetapi juga para individu yang bekerja dalam organisasi tersebut.
Untuk mengembangkan profesionalisme diri setidaknya ada tiga prinsip yang perlu
diperhatikan, yakni tanggungjawab, keadilan dan otonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar